Logo:Tema: Dengan Semangat Proklamasi 17 Agustus 1945, Kita Bekerja Keras untuk Kemajuan Bersama, Kita Tingkatkan Pemerataan Hasil-hasil Pembangunan untuk Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia Pedoman Peringatan Hari Ulang Tahun Ke-67 Kemerdekaan RI Tahun 2012 [download] Doa HUT RI ke-67 Tahun 2012 [download] Perubahan Jadwal Pidato Kenegaraan [download] |
Gallery Video
Sistem Pendidikan Islam
by insomniac1924Sistem Pendidikan Islam.
Konsep Pendidikan Islam
by Ustaz Pak Abu SangkanKonsep Pendidikan Islam.
Beginilah semestinya Sistem Pendidikan Kita
by Ustadz Budi Ashari, LcBeginilah semestinya Sistem Pendidikan Kita.
CERAMAH MUHASABAH MEMBANGUN MOTIVASI BELAJAR
by Negeri 5 MenaraCERAMAH MUHASABAH MEMBANGUN MOTIVASI BELAJAR.
Jumat, Agustus 17, 2012
Logo, Tema dan Do'a HUT RI ke-67 tahun 2012
Keluarga Sakinah dan KUA Teladan Nasional tahun 2012
Jakarta (Pinmas)—Pasangan keluarga dari Sulawesi Barat (Sulbar) terpilih sebagai juara pertama keluarga sakinah pada pemilihan keluarga sakinah tingkat nasional 2012 atas nama pasangan suami-isteri Dra. Hj. Ngatijem dan Prof. Dr. H. Sukaji Sarbi MS dengan nilai 632 dan sekaligus pula meraih hadiah Rp25 juta.
Pengumunan pemilihan keluarga sakinah berlangsung di Gedung Kemenag Jalan Thamrin, Jakarta, Kamis petang yang sekaligus dirangkaikan acara buka bersama. Hadiah bagi pemenag untuk keluarga sakinah dan KUA teladan tersebut diberikan Menteri Agama Suryadharma Ali.
Acara berlangsung cukup meriah karena diisi pula kesenian Madihin dari Banjarmasin, yang dibawakan oleh H. Syahrani.Madihin merupakan kesenian tradisional Banjar dan dalam penyampaiannya berbentuk puisi atau pantun. Syahrani, dengan pakaian khas Banjar dan songko kebesarannya, menyuguhkan pantun dengan irama seperti orang bernyanyi secara spontan. Dengan diselingi tabuhan robana di tangannya, ia terus menerus berceloteh mengundang tawa. Kata-kata berupa pantun yang disampaikan dia kepada hadirin memang menggugah hati dan simpati. Sekitar 10 menit ia tampil dan bisa mengundang Menag Suryadharma Ali ikut tertawa.
Hadir pada acara itu selain para isteri eselon I, juga ibu Indah Suryadharma Ali. Wamenag Nasaruddin Umar, Dirjen Bimas Islam Abdul Jamil, Sekjen Kemenag Bahrul Hayat dan para pejabat dari kementerian tersebut.
Untuk juara kedua diraih pasangan Hj. Nurjaenah dan H. Kamaruddin dari Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan nilai 615 dan memperoleh hadiah Rp23 juta. Berikutnya juara ketiga pasangan dari Kalimantan Barat (Kalbar) atas nama pasangan Dra. Hj. Budi Pudjianti BSc dan DR. (HC) dr. H. Sumardi M.Si dengan nilai 608 dan berhak atas hadiah Rp21 juta.
Sementara untuk juara harapan diraih pasangan Hj. Maritje Wewengkang dan Prof. Hi. Jhon Wumu (Sulawesi Utara) dengan nilai 600 dan mendapat hadiah Rp19 juta. Disusul diurutan kedua pasangan Hj. Ani Sugandi M.Pd dan H. Manakari Thaha (Bali) dengan nilai 593 dan mendapat hadiah Rp17 juta. Pasangan urutan ketiga Hj. Cek Rahmah Binti Hasan dan Tgk. H. Muhammad Arief (Naggroe Aceh D) dengan nilai 581 dan mendapat hadiah Rp15 juta.
Kunci keberhasilan keluarga sakinah, kata Suryadharma Ali dalam sambutannya adalah mampu menahan guncangan hidup. Guncangan yang dimaksud berbagai bentuk godaan, termasuk ujian kesabaran dalam membina keluarga. Para keluarga sakinah berhasil memajukan anak sehingga meraih pendidikan terbaik, antara lain menjadi sarjana hingga bekerja dan mandiri.
Menag Suryadharma Ali mengapresiasi peran dari panitia penyelenggara untuk pemilihan keluarga sakinah dan KUA teladan. Sebab, dari adanya keluarga sakinah itu dapat ditularkan nilai-nilai kejujuran dan kesetiaan dalam membina keluarga kepada genersi mendatang. Terlebih lagi, melalui keluarga sakinah, bisa dilahirkan generasi tangguh dan kuat.
Sementara itu untuk KUA teladan untuk juara pertama diraih Drs. M. Mahyiddin S.HI dari Kecamatan Panekan (Jawa Timur) dengan nilai 86.03. Berikutnya juara kedua H. Muhammad Ramli M.S.Ag (Kecamatan Tarakan Timur, Kalimantan Timur) dengan nilai 85.33. Juara ketiga Adib Mahlasin S.Ag (Kecamatan Kangkung, Jawa Tengah) dengan nilai 83.63. Untuk juara I, II dan III masing-masing mendapat dana pembinaan/bimbingan sebesar Rp25 juta, Rp23 juta dan Rp21 juta.
Untuk juara harapan I diraih H. Sutan Syahrir S.Ag (Kecamatan Medan Tembung, Sumatera Utara) dengan nilai 83.33. Juara harapan II diraih Rohwan S.Ag. M.Si (Kecamatan Pandak, DI Yogyakarta) dengan nilai 82.97 dan harapan III Abd. Rahman S.Ag (Kecamatan Tamalanrea, Sulawesi Selatan) dengan nilai 82.67. Masing-masing juara harapan I, II dan III mendapat dana pembinaan Rp19 juta, Rp17 juta dan Rp15 juta. sumber: http://www.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=101563
Acara berlangsung cukup meriah karena diisi pula kesenian Madihin dari Banjarmasin, yang dibawakan oleh H. Syahrani.Madihin merupakan kesenian tradisional Banjar dan dalam penyampaiannya berbentuk puisi atau pantun. Syahrani, dengan pakaian khas Banjar dan songko kebesarannya, menyuguhkan pantun dengan irama seperti orang bernyanyi secara spontan. Dengan diselingi tabuhan robana di tangannya, ia terus menerus berceloteh mengundang tawa. Kata-kata berupa pantun yang disampaikan dia kepada hadirin memang menggugah hati dan simpati. Sekitar 10 menit ia tampil dan bisa mengundang Menag Suryadharma Ali ikut tertawa.
Hadir pada acara itu selain para isteri eselon I, juga ibu Indah Suryadharma Ali. Wamenag Nasaruddin Umar, Dirjen Bimas Islam Abdul Jamil, Sekjen Kemenag Bahrul Hayat dan para pejabat dari kementerian tersebut.
Untuk juara kedua diraih pasangan Hj. Nurjaenah dan H. Kamaruddin dari Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan nilai 615 dan memperoleh hadiah Rp23 juta. Berikutnya juara ketiga pasangan dari Kalimantan Barat (Kalbar) atas nama pasangan Dra. Hj. Budi Pudjianti BSc dan DR. (HC) dr. H. Sumardi M.Si dengan nilai 608 dan berhak atas hadiah Rp21 juta.
Sementara untuk juara harapan diraih pasangan Hj. Maritje Wewengkang dan Prof. Hi. Jhon Wumu (Sulawesi Utara) dengan nilai 600 dan mendapat hadiah Rp19 juta. Disusul diurutan kedua pasangan Hj. Ani Sugandi M.Pd dan H. Manakari Thaha (Bali) dengan nilai 593 dan mendapat hadiah Rp17 juta. Pasangan urutan ketiga Hj. Cek Rahmah Binti Hasan dan Tgk. H. Muhammad Arief (Naggroe Aceh D) dengan nilai 581 dan mendapat hadiah Rp15 juta.
Kunci keberhasilan keluarga sakinah, kata Suryadharma Ali dalam sambutannya adalah mampu menahan guncangan hidup. Guncangan yang dimaksud berbagai bentuk godaan, termasuk ujian kesabaran dalam membina keluarga. Para keluarga sakinah berhasil memajukan anak sehingga meraih pendidikan terbaik, antara lain menjadi sarjana hingga bekerja dan mandiri.
Menag Suryadharma Ali mengapresiasi peran dari panitia penyelenggara untuk pemilihan keluarga sakinah dan KUA teladan. Sebab, dari adanya keluarga sakinah itu dapat ditularkan nilai-nilai kejujuran dan kesetiaan dalam membina keluarga kepada genersi mendatang. Terlebih lagi, melalui keluarga sakinah, bisa dilahirkan generasi tangguh dan kuat.
Sementara itu untuk KUA teladan untuk juara pertama diraih Drs. M. Mahyiddin S.HI dari Kecamatan Panekan (Jawa Timur) dengan nilai 86.03. Berikutnya juara kedua H. Muhammad Ramli M.S.Ag (Kecamatan Tarakan Timur, Kalimantan Timur) dengan nilai 85.33. Juara ketiga Adib Mahlasin S.Ag (Kecamatan Kangkung, Jawa Tengah) dengan nilai 83.63. Untuk juara I, II dan III masing-masing mendapat dana pembinaan/bimbingan sebesar Rp25 juta, Rp23 juta dan Rp21 juta.
Untuk juara harapan I diraih H. Sutan Syahrir S.Ag (Kecamatan Medan Tembung, Sumatera Utara) dengan nilai 83.33. Juara harapan II diraih Rohwan S.Ag. M.Si (Kecamatan Pandak, DI Yogyakarta) dengan nilai 82.97 dan harapan III Abd. Rahman S.Ag (Kecamatan Tamalanrea, Sulawesi Selatan) dengan nilai 82.67. Masing-masing juara harapan I, II dan III mendapat dana pembinaan Rp19 juta, Rp17 juta dan Rp15 juta. sumber: http://www.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=101563
Sabtu, Maret 17, 2012
ZAKAT Tidak Sama Dengan PAJAK
MENURUT MEREKA,
Pajak sebagai pungutan yang berdasarkan undang-undang dalam pengertian
sempit memang hasil proses pemikiran manusia. Namun, kalau dilihat dalam
arti yang lebih luas secara hermeneutika atau takwil menurut nash
Al-Qur’an dalam Al-Baqarah: 31, dalam kontek…
Syahadat, mengucapkan kesaksian:
لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ
“Tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah.”
merupakan
rukun yang mendasar, sekaligus hal yang wajib bagi setiap muslim. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan hal itu setelah
diangkat menjadi rasul. Mendakwahkan kalimat tersebut dan meninggalkan
berbagai perbuatan syirik, berbagai bentuk penyembahan kepada berhala
atau selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ. قُمْ فَأَنْذِرْ. وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ. وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
“Wahai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Rabbmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah.” (Al-Muddatstsir: 1-4)
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerukan dakwah kepada tauhid dari awal
pengangkatannya sebagai rasul oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalimat
syahadatain tersebut merupakan dasar bagi tegaknya agama Islam. Demikian
pula para rasul Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lain, mereka semua
memulai dakwahnya dengan mengajak manusia kepada tauhid, mengesakan
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan kesyirikan.
Adapun
rukun kedua, dari rukun Islam, yaitu shalat. Difardhukan untuk
menegakkan shalat ketika memasuki masa sebelum hijrah. Lantas, setelah
hijrah ke Madinah, diwajibkan zakat dan puasa di bulan Ramadhan. Ini
terjadi pada tahun ke-2 dari hijrah. Kemudian difardhukan haji pada
tahun ke-9 setelah hijrah. Dengan demikian, sempurnalah rukun Islam.
Maka, tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhaji, pada
tahun ke-10 setelah hijrah, turunlah ayat:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)
Zakat merupakan ibadah maliyah (ibadah dalam wujud menyerahkan harta). Disebut zakat, karena secara bahasa berarti التَّطْهِيرُ وَالنَّمَاءُ
suci dan tumbuh yaitu mensucikan atau membersihkan orang yang berzakat
dari kotoran dosa, sikap kikir dan bakhil. Juga membersihkan harta dari
yang telah dikeluarkan tersebut. Disebutkan tumbuh, karena zakat
tersebut akan menumbuhkan harta dan menjadi sebab tumbuhnya berkah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Sedekah itu tidak akan mengurangi dari harta (yang dimiliki seseorang).” (HR. Muslim no. 2588, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Maka, Zakat atau Sedekah tidaklah akan menjadi penyebab berkurangnya harta seseorang.
Justru, dengan berzakat atau bersedekah, harta seseorang akan bertambah
dan semakin bertambah keberkahannya. Harta itu akan tumbuh berkembang.
Meskipun, secara lahiriah saat seseorang menyedekahkan atau membayar
zakat, harta yang ada padanya berkurang, namun hakikatnya harta itu
justru tumbuh, bertambah, membawa berkah, dan bersih suci.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.” (At-Taubah: 103)
Selain
itu, zakat bisa membantu para fakir dan miskin. Mereka adalah
orang-orang yang tidak memiliki kecukupan nafkah. Karenanya,
saudara-saudara mereka yang terbilang memiliki harta lebih, mengulurkan
bantuan dan menutupi kebutuhan para fakir dan miskin. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ. لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan
orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang
(miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak
mau meminta).” (Al-Ma’arij: 24-25)
Itulah
zakat yang disediakan bagi orang-orang tertentu yang mereka memiliki
hak untuk memperolehnya. Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (Adz-Dzariyat: 19)
Zakat
merupakan rukun yang amat ditekankan setelah syahadatain dan shalat.
Barangsiapa mengingkari kewajiban berzakat, maka dia telah kafir dan
diminta bertaubat. Maka bertaubat dan meyakini bahwa perkara tersebut
merupakan hal yang wajib adalah kemestian, jika tidak dihukumi sebagai
orang murtad dan dihukum bunuh. Adapun terhadap orang-orang yang
meyakini perihal kewajiban berzakat (hukum zakat itu wajib), akan tetapi
enggan membayar atau menunaikan kewajiban tersebut lantaran bakhil dan
kikir, maka zakatnya boleh diambil secara paksa oleh pihak pemerintah.
Pihak pemerintah mengambil secara paksa lantaran harta zakat tersebut
merupakan hak fakir miskin yang merupakan kewajiban yang mesti
ditunaikan oleh para wajib zakat.
Khalifah
Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu telah memerangi orang-orang
yang enggan untuk menunaikan zakat sepeninggal Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Saat pernyataan hendak memerangi orang-orang yang
membangkang tak mau tunaikan zakat dikemukakan, sempat memicu para
sahabat lainnya, seperti Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, untuk
mempertanyakan kebijakan khalifah tersebut. Umar bin Al-Khaththab
radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada khalifah, “Wahai khalifah
Rasulullah, bagaimana mungkin engkau akan memerangi orang yang
bersyahadat bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali
Allah dan sementara itu mereka pun orang-orang yang shalat?”
Kemudian Khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu pun menjawab, “Demi
Allah, seandainya mereka membangkangiku (dengan cara tidak mau
menunaikan zakat) meski hanya dengan seutas tali, padahal mereka dulu
pernah menunaikannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
niscaya aku akan tetap memerangi mereka. Aku akan tetap memerangi
orang-orang yang memisahkan antara shalat dan zakat. Sungguh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Aku diperintah untuk
memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak
diibadahi kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Maka, bila
mereka mengucapkan hal itu, terpeliharalah dariku darah dan harta mereka
kecuali dengan haknya.’ Sungguh zakat termasuk bagian haknya.” (HR. Al-Bukhari no. 1399 dan Muslim no. 20)
Maksudnya, zakat merupakan hak yang tak terpisahkan dengan syahadat لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، مُحَمَّدٌ رَسُولُ الله
Mendengar
penjelasan demikian, para sahabat pun merasa puas dan mereka pun
mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan kebenaran
atas lisan Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Kata Umar bin
Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Demi Allah, tiadalah yang ada pada
dia (Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu) kecuali bahwasanya Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah melapangkan dada Abu Bakr Ash-Shiddiq
radhiyallahu ‘anhu. Maka, aku telah mengetahui sungguh dia itu benar.” (HR. Al-Bukhari no. 1399)
Lantas
para sahabat pun bersepakat untuk memerangi mereka dan menghukumi para
pembangkang zakat sebagai orang-orang murtad hingga mereka mau membayar
zakat kepada khalifah yang terbimbing dan mau tunduk terhadap hukum
Islam.
Zakat
merupakan perkara yang teramat agung di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Zakat termasuk salah satu kebaikan-kebaikan yang ada pada Islam.
Melalui zakat, salah satunya, kebaikan (Islam) itu nampak begitu nyata.
Karena dalam ajaran zakat terkandung pesan moral untuk bersikap lemah
lembut terhadap para fakir, miskin, dan orang-orang yang memerlukan
bantuan. Melalui syariat zakat ini, terpintal hikmah kokohnya jalinan
distribusi harta dari para hartawan kepada para fakir yang membutuhkan.
Hingga orang-orang yang tidak mampu secara finansial bisa dibantu
melalui dana jaminan sosial (istilah sekarang) yang terkumpul melalui
penggalangan zakat. Inilah salah satu hikmah adanya zakat. Karena
sesungguhnya, harta yang dimiliki seseorang senyatanya merupakan
pemberian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukan atas dasar kemampuan,
kekuatan, atau kepandaian yang dimilikinya. Tapi, harta itu semata-mata
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lantaran itulah, Allah Subhanahu wa
Ta’ala memfardhukan kepada orang-orang yang berharta untuk menyerahkan
hak saudara-saudara mereka yang tergolong fakir. Yaitu, berupaya
menyedekahkan harta yang telah mereka dapatkan. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ
يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خُلَّةٌ وَلَا شَفَاعَةٌ
وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Wahai
orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari
rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada
hari itu tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi
syafaat. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.” (Al-Baqarah: 254)
Orang-orang
yang telah menyerahkan sebagian rezeki mereka adalah orang-orang yang
telah dijanjikan mendapat balasan yang baik. Bagi mereka disediakan
keutamaan dan karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Firman-Nya:
مَثَلُ
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ
أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللهُ
يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di
jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh
bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan
(ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 261)
Selain
itu, tak ada pada jiwa orang-orang kaya, yang membayarkan zakat dengan
ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, perilaku mengungkit-ungkit
pemberian kepada orang-orang fakir dan bersikap takabur (sombong) kepada
mereka. Karena harta yang diserahkan tersebut bukanlah darinya, tetapi
merupakan kewajiban yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala bebankan atas
dirinya untuk ditunaikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى
كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si
penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada
manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (Al-Baqarah: 264)1
Kini, di era arus peralihan ilmu teknologi demikian kencang,
sebagian kaum muslimin mulai gencar menaburkan agama bertitik tekan
pada logika. Walaupun sebenarnya cara pandang memahami Islam semacam ini
tidaklah terlalu baru kalau tidak dikatakan sebagai hal yang telah
usang– karena cara pandang memahami agama seperti itu telah dilakukan
pendahulunya dari kalangan Mu’tazilah. Khusus dalam menyoroti masalah
zakat, ada kalangan yang menyamakan zakat dengan pajak. Seseorang yang
telah menyerahkan pajak diyakini telah menunaikan zakat. Melalui kajian
hermeneutika terhadap ayat-ayat zakat dalam Al-Qur’an, lantas membuat
kesimpulan bahwa zakat sama dengan pajak. Hermeneutika itu sendiri
berasal dari bahasa Yunani hermeneuine dan hermenia yang berarti
menafsirkan dan penafsiran. Penamaan hermeneutika sendiri tidak lepas
dari nama dewa Hermes (Hermeios), yaitu dewa dalam mitologi Yunani kuno
yang merupakan anak Zeus dan Maia. Dewa Hermes dikaitkan dengan
hermeneutika lantaran dia utusan Zeus yang bertugas menyampaikan dan
menerjemahkan pesan Zeus yang masih samar ke dalam bahasa yang bisa
dipahami manusia. Dengan demikian, hermeneutika secara bahasa memiliki
pengertian menafsirkan atau memberi takwil, yang mengungkapkan arti
suatu kata atau teks. Hermeneutika dibakukan sebagai ilmu, metode, dan
teknik memahami pesan atau teks pada abad 18 M. Awalnya merupakan bentuk
studi terhadap tafsir Bibel (Biblical Hermeneutics) lantas meluas
menjadi metode untuk mengkaji semua kondisi apa saja yang memungkinkan
lahirnya penafsiran atau takwil yang betul –menurut dugaan mereka-
terhadap satu teks atau kata. (Lihat Agar Tidak Menjadi Muslim Liberal,
Qomar Su’aidi ZA, Lc, hal. 456-457 dan Zakat=Pajak, Kajian Hermeneutika
Terhadap Ayat-ayat Zakat dalam Al-Qur’an, Achyar Rusli, hal. 28)
Kini,
metode ini sedang gencar dibiuskan ke tengah kaum muslimin dalam
menerapkan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an atau memaknai satu
hadits. Sehingga dengan metode ini, diharapkan muncul satu pemahaman
“Islam” yang baru yang keluar dari sistem pemahaman para ulama
terdahulu. Melalui metode ini direkayasa sedemikian rupa untuk lahir sebuah tafsir baru dalam agama. Metode hermeneutika sangat getol dipompakan ke tubuh umat Islam oleh kalangan Jaringan Islam Liberal (JIL).
Menurut
mereka, pajak sebagai pungutan yang berdasarkan undang-undang dalam
pengertian sempit memang hasil proses pemikiran manusia. Namun, kalau
dilihat dalam arti yang lebih luas secara hermeneutika atau takwil
menurut nash Al-Qur’an dalam Al-Baqarah: 31, dalam konteks ‘allama Adama
al-asma’ dalam pengertian Adam adalah manusia yang diajari nama-nama
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pajak sebagai suatu kata adalah suatu
nama yang diajarkan-Nya juga. Sehingga pada batas kesimpulan hubungan
zakat dengan pajak, mereka katakan bahwa zakat itu adalah pajak, pajak
itu adalah zakat, lain sebutan tapi arti sama.
Pemahaman
mereka pun diiringi pula adanya kesamaan dalam sistem zakat dan pajak.
Misal, dalam zakat ada istilah muzakki (orang yang menyerahkan zakat)
dalam pajak ada istilah wajib pajak, ada jenis-jenis zakat demikian pula
ada jenis-jenis pajak, ada kadar zakat (nishab) begitu pula dalam pajak
ada batas minimum pengenaan pajak, dalam zakat ada haul juga dalam
pajak ada periode pengenaan pajak. (Zakat=Pajak, hal. 109, 160)
Inti
dari pemahaman mereka adalah berupaya menalarkan titik persamaan antara
zakat dengan pajak secara paksa, sehingga bila disimpulkan, zakat adalah pajak dan pajak adalah zakat, lain sebutan tapi sama arti.
Tentu, hal ini merupakan kesimpulan yang teramat sangat dipaksakan.
Sebuah hasil pemikiran manusia yang sangat rancu dan batil. Apalagi
kesimpulan tersebut dibangun dari sebuah metode hermeneutika yang
sebatas menjelaskan dari sisi pesan, teks, atau kata. Tanpa meneropong
sebuah ajaran yang dibangun atas dasar iman.
Perlu
diingat bahwa zakat adalah kewajiban yang ditetapkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Sementara pajak adalah peraturan yang dibebankan negara kepada
rakyatnya. Perincian zakat telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam teknis pelaksanaannya. Demikian juga dalam
syariat lainnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menjelaskannya. Karena Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Allah Subhanahu wa Ta’ala
memerintahkannya agar menjelaskan isi Al-Qur’an tersebut kepada segenap
manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan
Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.” (An-Nahl: 44)
Zakat
merupakan ibadah yang wajib ditunaikan oleh seorang muslim yang telah
terpenuhi persyaratannya. Maka zakat merupakan bentuk amal guna
mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun pajak
merupakan peraturan negara yang tidak ada kaitannya dengan ibadah dan
upaya mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seorang muslim yang tidak meyakini zakat sebagai kewajiban yang harus
ditunaikan, maka dia dihukumi kafir dan murtad dari Islam. Konsekuensi
yang seperti ini tentu tidak akan ada pada seseorang yang menunaikan
pajak dan tidak meyakininya sebagai sebuah kewajiban.
Ketentuan
zakat bersifat universal. Di negara manapun ketentuan tersebut tetap
berlaku selama dia menjadi seorang muslim. Berbeda dengan pajak,
masing-masing negara memiliki ketentuan dan undang-undang sendiri. Satu
negara dengan negara lain berbeda. Selain itu, zakat adalah kewajiban
yang bersifat tetap dan terus-menerus berlangsung. Kewajiban zakat itu
akan tetap berjalan selagi umat Islam ada di muka bumi. Kewajiban zakat
tidak akan dihapus oleh siapapun. Tidak berubah-ubah. Berbeda dengan
pajak yang bisa dihapus, misal melalui pemutihan, atau berubah menurut
kondisi satu negara.
Melihat
sisi-sisi perbedaan yang mendasar seperti di atas, tentu sangat tidak
ilmiah sekali bila zakat disamakan dengan pajak. Bagi seorang muslim,
hendaknya memancangkan segenap pemikiran, perbuatan, dan keyakinannya ke
tiang pancang yang kokoh, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, selaras
pemahaman salaf ash-shalih.
Demikian
pula halnya ketika memahami nash-nash Al-Qur’an, hendaknya mengikuti
kaidah-kaidah para ulama salaf. Mereka adalah orang-orang yang memiliki
otoritas untuk membimbing umat sesuai ajaran Islam yang benar yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma:
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berbicara tentang Al-Qur’an dengan ra’yu (pemikiran logika)nya, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka.” (I’lamul Muwaqqi’in, Ibnu Qayyim, hal. 54)
Wallahu a’lam.
1
Paparan di atas disarikan dari tulisan Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin
Abdullah Al-Fauzan dalam Tashilul IImam bi Fiqhil Hadits min Bulughil
Maram, 3/91-94, dengan beberapa penambahan dari penulis.
Sumber: www.asysyariah.com Penulis : Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin, Judul: Zakat Tidak Sama Dengan Pajak
Pernikahan Menurut Islam dari Mengenal Calon Sampai Proses Akad Nikah
Proses
mencari jodoh dalam Islam bukanlah “membeli kucing dalam karung”
sebagaimana sering dituduhkan. Namun justru diliputi oleh perkara yang
penuh adab. Bukan “Coba dulu baru beli” kemudian “habis manis sepah dibuang”, sebagaimana jamaknya pacaran kawula muda di masa sekarang.
Islam
telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses
sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih.
Berikut ini kami bawakan perinciannya:
1. Mengenal calon pasangan hidup
Sebelum
seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya ia
harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang hendak dinikahinya,
begitu pula sebaliknya si wanita tahu siapa lelaki yang berhasrat
menikahinya. Tentunya proses kenal-mengenal ini tidak seperti yang
dijalani orang-orang yang tidak paham agama, sehingga mereka
menghalalkan pacaran atau pertunangan dalam rangka penjajakan calon
pasangan hidup, kata mereka. Pacaran dan pertunangan haram hukumnya
tanpa kita sangsikan.
Adapun
mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah mengetahui
siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya
dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh dengan mencari
informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si wanita
ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si wanita.
Yang
perlu menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada
fitnah (godaan setan) dihindari kedua belah pihak seperti
bermudah-mudahan melakukan hubungan telepon, sms, surat-menyurat, dengan
alasan ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon suami/istri.
Jangankan baru ta’aruf, yang sudah resmi meminang pun harus menjaga
dirinya dari fitnah. Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin Fauzan bin
Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang pembicaraan melalui
telepon antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah
dipinangnya, beliau menjawab, “Tidak
apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang
telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan
pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas
kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah. Namun bila hal itu
dilakukan lewat perantara wali si wanita maka lebih baik lagi dan lebih
jauh dari keraguan/fitnah. Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan
laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum
berlangsung pelamaran di antara mereka, namun tujuannya untuk saling
mengenal, sebagaimana yang mereka istilahkan, maka ini mungkar, haram,
bisa mengarah kepada fitnah serta menjerumuskan kepada perbuatan keji.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا
“Maka
janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga
berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan ucapkanlah
ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)
Seorang
wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki ajnabi kecuali bila
ada kebutuhan dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf, tidak ada
fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya dituduh
macam-macam).” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin
Fauzan 3/163-164)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan
Ada beberapa hal yang disenangi bagi laki-laki untuk memerhatikannya:
- Wanita itu shalihah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تُنْكَحُ
النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا
وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita
itu (menurut kebiasaan yang ada, pent.) dinikahi karena empat perkara,
bisa jadi karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya,
dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang memiliki agama.
Bila tidak, engkau celaka.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 3620
dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
-Wanita itu subur rahimnya. Tentunya bisa diketahui dengan melihat ibu atau saudara perempuannya yang telah menikah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ
“Nikahilah
oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur, karena aku
berbangga-bangga di hadapan umat yang lain pada kiamat dengan banyaknya
jumlah kalian.” (HR. An-Nasa`i no. 3227, Abu Dawud no. 1789, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil no. 1784)
-Wanita tersebut masih gadis1, yang dengannya akan dicapai kedekatan yang sempurna.
Jabir
bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ketika memberitakan kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia telah menikah dengan seorang
janda, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَهَلاَّ جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ؟
“Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis hingga engkau bisa mengajaknya bermain dan dia bisa mengajakmu bermain?!”
Namun
ketika Jabir mengemukakan alasannya, bahwa ia memiliki banyak saudara
perempuan yang masih belia, sehingga ia enggan mendatangkan di tengah
mereka perempuan yang sama mudanya dengan mereka sehingga tak bisa
mengurusi mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memujinya,
“Benar apa yang engkau lakukan.” (HR. Al-Bukhari no. 5080, 4052 dan
Muslim no. 3622, 3624)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالْأَبْكَارِ، فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيْرِ
“Hendaklah
kalian menikah dengan para gadis karena mereka lebih segar mulutnya,
lebih banyak anaknya, dan lebih ridha dengan yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah no. 1861, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 623)
2. Nazhar (Melihat calon pasangan hidup)
Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghibahkan dirinya. Si wanita berkata:
ياَ
رَسُوْلَ اللهِ، جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي. فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُوْلُ
اللهِ صلى الله عليه وسلم فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيْهَا وَصَوَّبَهُ، ثُمَّ
طَأْطَأَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رًأْسَهُ
“Wahai
Rasulullah! Aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melihat ke arah wanita tersebut.
Beliau mengangkat dan menurunkan pandangannya kepada si wanita. Kemudian
beliau menundukkan kepalanya. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)
Hadits
ini menunjukkan bila seorang lelaki ingin menikahi seorang wanita maka
dituntunkan baginya untuk terlebih dahulu melihat calonnya tersebut dan
mengamatinya. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/215-216)
Oleh karena itu, ketika seorang sahabat ingin menikahi wanita Anshar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatinya:
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا، يَعْنِي الصِّغَرَ
“Lihatlah wanita tersebut, karena pada mata orang-orang Anshar ada sesuatu.” Yang beliau maksudkan adalah mata mereka kecil. (HR. Muslim no. 3470 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Demikian
pula ketika Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu meminang seorang
wanita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” “Belum,” jawab Al-Mughirah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
“Lihatlah
wanita tersebut, karena dengan seperti itu akan lebih pantas untuk
melanggengkan hubungan di antara kalian berdua (kelak).” (HR. An-Nasa`i no. 3235, At-Tirmidzi no.1087. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 96)
Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu berkata, “Dalam
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Al-Mughirah
radhiyallahu ‘anhu: “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang
tersebut?” ada dalil bahwa sunnah hukumnya ia melihat si wanita sebelum
khitbah (pelamaran), sehingga tidak memberatkan si wanita bila ternyata
ia membatalkan khitbahnya karena setelah nazhar ternyata ia tidak
menyenangi si wanita.” (Syarhus Sunnah 9/18)
Bila
nazhar dilakukan setelah khitbah, bisa jadi dengan khitbah tersebut si
wanita merasa si lelaki pasti akan menikahinya. Padahal mungkin ketika
si lelaki melihatnya ternyata tidak menarik hatinya lalu membatalkan
lamarannya, hingga akhirnya si wanita kecewa dan sakit hati. (Al-Minhaj
Syarhu Shahih Muslim, 9/214)
Sahabat Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku
meminang seorang wanita, maka aku bersembunyi untuk mengintainya hingga
aku dapat melihatnya di sebuah pohon kurmanya.” Maka ada yang bertanya
kepada Muhammad, “Apakah engkau melakukan hal seperti ini padahal engkau
adalah sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Kata Muhammad, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَلْقَى اللهُ فيِ قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ، فَلاَ بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا
“Apabila
Allah melemparkan di hati seorang lelaki (niat) untuk meminang seorang
wanita maka tidak apa-apa baginya melihat wanita tersebut.” (HR. Ibnu Majah no. 1864, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Ibni Majah dan Ash-Shahihah no. 98)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Boleh melihat wanita yang ingin dinikahi walaupun si wanita tidak mengetahuinya ataupun tidak menyadarinya.” Dalil dari hal ini sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا
خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً، فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ
إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ، وَإِنْ
كَانَتْ لاَ تَعْلَمُ
‘Apabila
seorang dari kalian ingin meminang seorang wanita, maka tidak ada dosa
baginya melihat si wanita apabila memang tujuan melihatnya untuk
meminangnya, walaupun si wanita tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang
dilihat).” (HR. Ath-Thahawi, Ahmad 5/424 dan Ath-Thabarani dalam
Al-Mu’jamul Ausath 1/52/1/898, dengan sanad yang shahih, lihat
Ash-Shahihah 1/200)
Pembolehan
melihat wanita yang hendak dilamar walaupun tanpa sepengetahuan dan
tanpa seizinnya ini merupakan pendapat yang dipegangi jumhur ulama.
Adapun Al-Imam Malik rahimahullahu dalam satu riwayat darinya menyatakan, “Aku
tidak menyukai bila si wanita dilihat dalam keadaan ia tidak tahu
karena khawatir pandangan kepada si wanita terarah kepada aurat.”
Dan dinukilkan dari sekelompok ahlul ilmi bahwasanya tidak boleh melihat
wanita yang dipinang sebelum dilangsungkannya akad karena si wanita
masih belum jadi istrinya. (Al-Hawil Kabir 9/35, Syarhul Ma’anil Atsar
2/372, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim 9/214, Fathul Bari 9/158)
Haramnya berduaan dan bersepi-sepi tanpa mahram ketika nazhar (melihat calon)
Sebagai
catatan yang harus menjadi perhatian bahwa ketika nazhar tidak boleh
lelaki tersebut berduaan saja dan bersepi-sepi tanpa mahram (berkhalwat)
dengan si wanita. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 3259)
Karenanya
si wanita harus ditemani oleh salah seorang mahramnya, baik saudara
laki-laki atau ayahnya. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
Bila
sekiranya tidak memungkinkan baginya melihat wanita yang ingin
dipinang, boleh ia mengutus seorang wanita yang tepercaya guna
melihat/mengamati wanita yang ingin dipinang untuk kemudian disampaikan
kepadanya. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar bi Hassatil Bashar, Ibnul
Qaththan Al-Fasi hal. 394, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214,
Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/280)
Batasan yang boleh dilihat dari seorang wanita
Ketika
nazhar, boleh melihat si wanita pada bagian tubuh yang biasa tampak di
depan mahramnya. Bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang
bekerja di rumahnya, seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala,
dua betis, dua telapak kaki dan semisalnya. Karena adanya hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَي مَا يَدْعُوهُ إِلىَ نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
“Bila
seorang dari kalian meminang seorang wanita, lalu ia mampu melihat dari
si wanita apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka hendaklah ia
melakukannya.” (HR. Abu Dawud no. 2082 dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 99)
Di
samping itu, dilihat dari adat kebiasaan masyarakat, melihat
bagian-bagian itu bukanlah sesuatu yang dianggap memberatkan atau aib.
Juga dilihat dari pengamalan yang ada pada para sahabat. Sahabat Jabir
bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ketika melamar seorang perempuan, ia
pun bersembunyi untuk melihatnya hingga ia dapat melihat apa yang
mendorongnya untuk menikahi si gadis, karena mengamalkan hadits
tersebut. Demikian juga Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu
sebagaimana telah disinggung di atas. Sehingga cukuplah hadits-hadits
ini dan pemahaman sahabat sebagai hujjah untuk membolehkan seorang
lelaki untuk melihat lebih dari sekadar wajah dan dua telapak tangan2.
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Sisi
kebolehan melihat bagian tubuh si wanita yang biasa tampak adalah
ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan melihat wanita
yang hendak dipinang dengan tanpa sepengetahuannya. Dengan demikian
diketahui bahwa beliau mengizinkan melihat bagian tubuh si wanita yang
memang biasa terlihat karena tidak mungkin yang dibolehkan hanya melihat
wajah saja padahal ketika itu tampak pula bagian tubuhnya yang lain,
tidak hanya wajahnya. Karena bagian tubuh tersebut memang biasa
terlihat. Dengan demikian dibolehkan melihatnya sebagaimana dibolehkan
melihat wajah. Dan juga karena si wanita boleh dilihat dengan perintah
penetap syariat berarti dibolehkan melihat bagian tubuhnya sebagaimana
yang dibolehkan kepada mahram-mahram si wanita.” (Al-Mughni, fashl Ibahatun Nazhar Ila Wajhil Makhthubah)
Memang dalam masalah batasan yang boleh dilihat ketika nazhar ini didapatkan adanya perselisihan pendapat di kalangan ulama3.
3. Khithbah (peminangan)
Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.
Apabila
seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih
dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram
baginya meminang wanita tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah bersabda:
لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
“Tidak
boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya
hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya
(membatalkan pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5144)
Dalam riwayat Muslim (no. 3449) disebutkan:
الْمُؤْمِنُ
أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلى
بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَذَرَ
“Seorang
mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Maka tidaklah halal
baginya menawar barang yang telah dibeli oleh saudaranya dan tidak halal
pula baginya meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga
saudaranya meninggalkan pinangannya (membatalkan).”
Perkara
ini merugikan peminang yang pertama, di mana bisa jadi pihak wanita
meminta pembatalan pinangannya disebabkan si wanita lebih menyukai
peminang kedua. Akibatnya, terjadi permusuhan di antara sesama muslim
dan pelanggaran hak. Bila peminang pertama ternyata ditolak atau
peminang pertama mengizinkan peminang kedua untuk melamar si wanita,
atau peminang pertama membatalkan pinangannya maka boleh bagi peminang
kedua untuk maju. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/282)
Setelah
pinangan diterima tentunya ada kelanjutan pembicaraan, kapan akad nikad
akan dilangsungkan. Namun tidak berarti setelah peminangan tersebut, si
lelaki bebas berduaan dan berhubungan dengan si wanita. Karena selama
belum akad keduanya tetap ajnabi, sehingga janganlah seorang muslim
bermudah-mudahan dalam hal ini. (Fiqhun Nisa fil Khithbah waz Zawaj,
hal. 28)
Jangankan
duduk bicara berduaan, bahkan ditemani mahram si wanita pun masih dapat
mendatangkan fitnah. Karenanya, ketika Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullahu dimintai fatwa tentang seorang lelaki yang telah meminang
seorang wanita, kemudian di hari-hari setelah peminangan, ia biasa
bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar bersamanya dengan
didampingi mahram si wanita dalam keadaan si wanita memakai hijab yang
syar’i. Berbincanglah si lelaki dengan si wanita. Namun pembicaraan
mereka tidak keluar dari pembahasan agama ataupun bacaan Al-Qur`an. Lalu
apa jawaban Syaikh rahimahullahu? Beliau ternyata berfatwa, “Hal
seperti itu tidak sepantasnya dilakukan. Karena, perasaan pria bahwa
wanita yang duduk bersamanya telah dipinangnya secara umum akan
membangkitkan syahwat. Sementara bangkitnya syahwat kepada selain istri
dan budak perempuan yang dimiliki adalah haram. Sesuatu yang
mengantarkan kepada keharaman, hukumnya haram pula.” (Fatawa Asy-Syaikh
Muhammad Shalih Al-Utsaimin, 2/748)
Yang perlu diperhatikan oleh wali
Ketika
wali si wanita didatangi oleh lelaki yang hendak meminang si wanita
atau ia hendak menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya
ia memerhatikan perkara berikut ini:
-Memilihkan
suami yang shalih dan bertakwa. Bila yang datang kepadanya lelaki yang
demikian dan si wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui maka
hendaknya ia menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda:
إِذَا
خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ،
إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
“Apabila
datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai agama dan
akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian
menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak
melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang
besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
-Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.
Persetujuan
seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia malu. Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata menyampaikan hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ
تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى
تُسْتَأْذَنَ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ:
أَنْ تَسْكُتَ
“Tidak
boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai
pendapat dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai
izinnya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah! Bagaimana izinnya seorang
gadis?” “Izinnya dengan ia diam,” jawab beliau. (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
4. Akad nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab
adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan
dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya,
misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Sebelum
dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk menyampaikan khutbah
yang dikenal dengan khutbatun nikah atau khutbatul hajah. Lafadznya
sebagai berikut:
إِنَّ
الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ
إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ
أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ
فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَلاَّ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ
شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. (آل عمران: 102)
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً
وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ
كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. (النساء: 1)
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا. يُصْلِحْ
لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ
وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. (الأحزاب: 70-71)
5. Walimatul ‘urs
Melangsungkan
walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut sebagian besar ahlul ilmi,
menyelisihi pendapat sebagian mereka yang mengatakan wajib, karena
adanya perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu ketika mengabarkan kepada beliau
bahwa dirinya telah menikah:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Selenggarakanlah walimah walaupun dengan hanya menyembelih seekor kambing4.” (HR. Al-Bukhari no. 5167 dan Muslim no. 3475)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyelenggarakan walimah ketika
menikahi istri-istrinya seperti dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu
disebutkan:
مَا أَوْلَمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلىَ شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلىَ زَيْنَبَ، أَوْلَمَ بِشَاةٍ
“Tidaklah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelenggarakan walimah ketika
menikahi istri-istrinya dengan sesuatu yang seperti beliau lakukan
ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara
walimahnya dengan Zainab.” (HR. Al-Bukhari no. 5168 dan Muslim no. 3489)
Walimah
bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya akad nikah dan
bisa pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya hari-hari pengantin
baru. Namun disenangi tiga hari setelah dukhul, karena demikian yang
dinukilkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah
dengan Shafiyyah radhiyallahu ‘anha dan beliau jadikan kemerdekaan
Shafiyyah sebagai maharnya. Beliau mengadakan walimah tiga hari
kemudian.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf
hal. 74: “Diriwayatkan Abu Ya’la dengan sanad yang hasan sebagaimana
dalam Fathul Bari (9/199) dan ada dalam Shahih Al-Bukhari secara
makna.”)
Hendaklah
yang diundang dalam acara walimah tersebut orang-orang yang shalih,
tanpa memandang dia orang kaya atau orang miskin. Karena kalau yang
dipentingkan hanya orang kaya sementara orang miskinnya tidak diundang,
maka makanan walimah tersebut teranggap sejelek-jelek makanan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهَا اْلأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِيْنُ
“Sejelek-jelek
makanan adalah makanan walimah di mana yang diundang dalam walimah
tersebut hanya orang-orang kaya sementara orang-orang miskin tidak
diundang.” (HR. Al-Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 3507)
Pada
hari pernikahan ini disunnahkan menabuh duff (sejenis rebana kecil,
tanpa keping logam di sekelilingnya -yang menimbulkan suara
gemerincing-, ed.) dalam rangka mengumumkan kepada khalayak akan adanya
pernikahan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ
“Pemisah antara apa yang halal dan yang haram adalah duff dan shaut (suara) dalam pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no. 3369, Ibnu Majah no. 1896. Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1994)
Adapun
makna shaut di sini adalah pengumuman pernikahan, lantangnya suara dan
penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan tersebut di tengah manusia.
(Syarhus Sunnah 9/47,48)
Al-Imam
Al-Bukhari rahimahullahu menyebutkan satu bab dalam Shahih-nya,
“Menabuh duff dalam acara pernikahan dan walimah” dan membawakan hadits
Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha yang mengisahkan
kehadiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pernikahannya.
Ketika itu anak-anak perempuan memukul duff sembari merangkai kata-kata
menyenandungkan pujian untuk bapak-bapak mereka yang terbunuh dalam
perang Badr, sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendengarkannya. (HR. Al-Bukhari no. 5148)
Dalam
acara pernikahan ini tidak boleh memutar nyanyian-nyanyian atau
memainkan alat-alat musik, karena semua itu hukumnya haram.
Disunnahkan
bagi yang menghadiri sebuah pernikahan untuk mendoakan kedua mempelai
dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
أَنَّ
النَّبِيَّّ صلى الله عليه وسلم كاَنَ إِذَا رَفَّأَ اْلإِنْسَاَن، إِذَا
تَزَوَّجَ قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ
بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ
“Adalah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila mendoakan seseorang yang
menikah, beliau mengatakan: ‘Semoga Allah memberkahi untukmu dan
memberkahi atasmu serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan’.” (HR. At-Tirmidzi no. 1091, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
6. Setelah akad
Ketika
mempelai lelaki telah resmi menjadi suami mempelai wanita, lalu ia
ingin masuk menemui istrinya maka disenangi baginya untuk melakukan
beberapa perkara berikut ini:
Pertama:
Bersiwak terlebih dahulu untuk membersihkan mulutnya karena
dikhawatirkan tercium aroma yang tidak sedap dari mulutnya. Demikian
pula si istri, hendaknya melakukan yang sama. Hal ini lebih mendorong
kepada kelanggengan hubungan dan kedekatan di antara keduanya.
Didapatkan dari perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersiwak bila hendak masuk rumah menemui istrinya, sebagaimana
berita dari Aisyah radhiyallahu ‘anha (HR. Muslim no. 590).
Kedua:
Disenangi baginya untuk menyerahkan mahar bagi istrinya sebagaimana
akan disebutkan dalam masalah mahar dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma.
Ketiga:
Berlaku lemah lembut kepada istrinya, dengan semisal memberinya segelas
minuman ataupun yang semisalnya berdasarkan hadits Asma` bintu Yazid
bin As-Sakan radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku mendandani Aisyah
radhiyallahu ‘anha untuk dipertemukan dengan suaminya, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah selesai aku memanggil Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat Aisyah. Beliau pun datang
dan duduk di samping Aisyah. Lalu didatangkan kepada beliau segelas
susu. Beliau minum darinya kemudian memberikannya kepada Aisyah yang
menunduk malu.” Asma` pun menegur Aisyah, “Ambillah gelas itu dari
tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aisyah pun mengambilnya
dan meminum sedikit dari susu tersebut.” (HR. Ahmad, 6/438, 452,
458 secara panjang dan secara ringkas dengan dua sanad yang saling
menguatkan, lihat Adabuz Zafaf, hal. 20)
Keempat:
Meletakkan tangannya di atas bagian depan kepala istrinya
(ubun-ubunnya) sembari mendoakannya, dengan dalil sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا
تَزَوَّجَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا فَلْيَأْخُذْ
بِنَاصِيَتِهَا وَلْيُسَمِّ اللهَ عز وجل وَلْيَدْعُ بِالْبَرَكَةِ
وَلْيَقُلْ: اللّهمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا
جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا
جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ
“Apabila
salah seorang dari kalian menikahi seorang wanita atau membeli seorang
budak maka hendaklah ia memegang ubun-ubunnya, menyebut nama Allah
Subhanahu wa Ta’ala, mendoakan keberkahan dan mengatakan: ‘Ya Allah, aku
meminta kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau
ciptakan/tabiatkan dia di atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari
kejelekannya dan kejelekan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di
atasnya’.” (HR. Abu Dawud no. 2160, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Kelima:
Ahlul ‘ilmi ada yang memandang setelah dia bertemu dan mendoakan
istrinya disenangi baginya untuk shalat dua rakaat bersamanya. Hal ini
dinukilkan dari atsar Abu Sa’id maula Abu Usaid Malik bin Rabi’ah
Al-Anshari. Ia berkata: “Aku menikah dalam keadaan aku berstatus budak.
Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di
antara mereka ada Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, dan Hudzaifah radhiyallahu
‘anhum. Lalu ditegakkan shalat, majulah Abu Dzar untuk mengimami. Namun
orang-orang menyuruhku agar aku yang maju. Ketika aku menanyakan mengapa
demikian, mereka menjawab memang seharusnya demikian. Aku pun maju
mengimami mereka dalam keadaan aku berstatus budak. Mereka mengajariku
dan mengatakan, “Bila engkau masuk menemui istrimu, shalatlah dua
rakaat. Kemudian mintalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari
kebaikannya dan berlindunglah dari kejelekannya. Seterusnya, urusanmu
dengan istrimu.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf,
demikian pula Abdurrazzaq. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam
Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id”).
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1
Namun bukan berarti janda terlarang baginya, karena dari keterangan di
atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperkenankan Jabir
radhiyallahu ‘anhu memperistri seorang janda. Juga, semua istri
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dinikahi dalam keadaan janda,
kecuali Aisyah rad..
3 Bahkan Al-Imam Ahmad rahimahullahu sampai memiliki beberapa riwayat dalam masalah ini, di antaranya:
Pertama: Yang boleh dilihat hanya wajah si wanita saja.
Kedua: Wajah dan dua telapak tangan. Sebagaimana pendapat ini juga dipegangi oleh Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah.
Ketiga:
Boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasa tampak di depan mahramnya dan
bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di
rumahnya seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis,
dua telapak kaki, dan semisalnya. Tidak boleh dilihat bagian tubuhnya
yang biasanya tertutup seperti bagian dada, punggung, dan semisal
keduanya.
Keempat: Seluruh tubuhnya boleh dilihat, selain dua kemaluannya. Dinukilkan pendapat ini dari Dawud Azh-Zhahiri.
Kelima:
Boleh melihat seluruh tubuhnya tanpa pengecualian. Pendapat ini
dipegangi pula oleh Ibnu Hazm dan dicondongi oleh Ibnu Baththal serta
dinukilkan juga dari Dawud Azh-Zhahiri.
PERHATIAN:
Tentang pendapat Dawud Azh-Zhahiri di atas, Al-Imam An-Nawawi berkata
bahwa pendapat tersebut adalah suatu kesalahan yang nyata, yang
menyelisihi prinsip Ahlus Sunnah. Ibnul Qaththan menyatakan: “Ada
pun sau`atan (yakni qubul dan dubur) tidak perlu dikaji lagi bahwa
keduanya tidak boleh dilihat. Apa yang disebutkan bahwa Dawud
membolehkan melihat kemaluan, saya sendiri tidak pernah melihat
pendapatnya secara langsung dalam buku murid-muridnya. Itu hanya sekedar
nukilan dari Abu Hamid Al-Isfirayini. Dan telah saya kemukakan
dalil-dalil yang melarang melihat aurat.”
Sulaiman At-Taimi berkata: “Bila engkau mengambil rukhshah (pendapat yang ringan) dari setiap orang alim, akan terkumpul pada dirimu seluruh kejelekan.”
Ibnu Abdilbarr berkata mengomentari ucapan Sulaiman At-Taimi di atas: “Ini adalah ijma’ (kesepakatan ulama), aku tidak mengetahui adanya perbedaan dalam hal ini.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 359)
Selain itu ada pula pendapat berikutnya yang bukan merupakan pendapat Al-Imam Ahmad:
Keenam:
Boleh melihat wajah, dua telapak tangan dan dua telapak kaki si wanita,
demikian pendapat Abu Hanifah dalam satu riwayat darinya.
Ketujuh:
Boleh dilihat dari si wanita sampai ke tempat-tempat daging pada
tubuhnya, demikian kata Al-Auza’i. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar hal.
392,393, Fiqhun Nazhar hal. 77,78)
Al-Imam
Al-Albani rahimahullahu menyatakan bahwa riwayat yang ketiga lebih
mendekati zahir hadits dan mencocoki apa yang dilakukan oleh para
sahabat. (Ash-Shahihah, membahas hadits no. 99)
4 Bagi orang yang punya kelapangan tentunya, sehingga jangan dipahami bahwa walimah harus dengan memotong kambing. Setiap orang punya kemampuan yang berbeda. (Syarhus Sunnah 9/135)
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam walimah atas pernikahannya dengan Shafiyyah, yang terhidang hanyalah makanan yang terbuat dari tepung dicampur dengan minyak samin dan keju (HR. Al-Bukhari no. 5169).
Sehingga hal ini menunjukkan boleh walimah tanpa memotong sembelihan. Wallahu ‘alam bish-shawab.
Dikutip dari http://Asysyariah.com Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim, Judul: Proses Syar’i Sebuah Pernikahan
Jumat, Maret 16, 2012
Menpan: Hanya 5 Persen PNS yang Memiliki Kompetensi
Yogyakarta (Pinmas)--Sekitar 95 persen dari total 4,7 juta pegawai
negeri sipil di Indonesia tidak memiliki kompetensi di bidangnya, kata
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar
Abubakar.
"Dari jumlah tersebut, sekitar 50 persen pegawai negeri sipil (PNS) berbagai golongan belum memiliki kapasitas," katanya usai penandatanganan Pakta Integritas Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di Yogyakarta, Rabu.
Menurut dia, banyaknya PNS yang tidak memiliki kompetensi dan kapasitas tersebut disebabkan jumlah lapangan kerja dan angkatan kerja tidak seimbang. Dalam setahun hanya sekitar 100.000 formasi PNS yang disediakan, sedangkan angkatan kerja mencapai tiga juta orang.
"Oleh karena itu, ke depan PNS harus dipilih yang benar-benar memiliki daya saing yang bagus dan mempunyai kemampuan. Selama ini PNS yang diterima setiap tahun sekitar 60.000 orang," katanya.
Ke depan, kata dia, jumlah PNS yang diterima itu akan dikurangi menjadi setengahnya, karena akan dipilih yang memiliki kompetensi dan kapasitas. Saat ini jumlah PNS yang diterima banyak, tetapi kompetensinya kurang.
"PNS yang mempunyai kompetensi di bidangnya masih sedikit, hanya sekitar lima persen dari 4,7 juta PNS. Jadi, yang banyak hanya untuk disuruh, bukan yang kerja mandiri, nanti itu akan dirapikan pelan-pelan," katanya.
Ia mengatakan, jumlah 4,7 juta PNS tersebut sebenarnya sudah berlebihan, sehingga ada moratorium. Namun, sisa honorer yang ada akan dimasukkan dulu.
"Pembukaan formasi PNS ke depan berdasarkan kebutuhan, kemudian akan diangkat sesuai dengan jabatan, tugas, dan fungsi," katanya.
Ditanya tentang kenaikan gaji PNS yang menjadi sorotan banyak kalangan, ia mengatakan, gaji pokok merupakan elemen hak PNS yang harus dibayarkan. "Gaji itu dasar dan hak PNS. Jadi harus dibayarkan karena orang tidak boleh lapar," kata Azwar. (ant)
Sumber: http://kemenag.go.id/index.php?a=detilberita&id=9050
"Dari jumlah tersebut, sekitar 50 persen pegawai negeri sipil (PNS) berbagai golongan belum memiliki kapasitas," katanya usai penandatanganan Pakta Integritas Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di Yogyakarta, Rabu.
Menurut dia, banyaknya PNS yang tidak memiliki kompetensi dan kapasitas tersebut disebabkan jumlah lapangan kerja dan angkatan kerja tidak seimbang. Dalam setahun hanya sekitar 100.000 formasi PNS yang disediakan, sedangkan angkatan kerja mencapai tiga juta orang.
"Oleh karena itu, ke depan PNS harus dipilih yang benar-benar memiliki daya saing yang bagus dan mempunyai kemampuan. Selama ini PNS yang diterima setiap tahun sekitar 60.000 orang," katanya.
Ke depan, kata dia, jumlah PNS yang diterima itu akan dikurangi menjadi setengahnya, karena akan dipilih yang memiliki kompetensi dan kapasitas. Saat ini jumlah PNS yang diterima banyak, tetapi kompetensinya kurang.
"PNS yang mempunyai kompetensi di bidangnya masih sedikit, hanya sekitar lima persen dari 4,7 juta PNS. Jadi, yang banyak hanya untuk disuruh, bukan yang kerja mandiri, nanti itu akan dirapikan pelan-pelan," katanya.
Ia mengatakan, jumlah 4,7 juta PNS tersebut sebenarnya sudah berlebihan, sehingga ada moratorium. Namun, sisa honorer yang ada akan dimasukkan dulu.
"Pembukaan formasi PNS ke depan berdasarkan kebutuhan, kemudian akan diangkat sesuai dengan jabatan, tugas, dan fungsi," katanya.
Ditanya tentang kenaikan gaji PNS yang menjadi sorotan banyak kalangan, ia mengatakan, gaji pokok merupakan elemen hak PNS yang harus dibayarkan. "Gaji itu dasar dan hak PNS. Jadi harus dibayarkan karena orang tidak boleh lapar," kata Azwar. (ant)
Sumber: http://kemenag.go.id/index.php?a=detilberita&id=9050
Karakteristik Bulan Muharram
Ditulis oleh Abdul Kholiq Saman
Sekarang kita berada di Bulan Muharram, yaitu bulan pertama dalam kalender Hijriah. Bulan ini termasuk salah satu dari empat bulan haram (suci), sebagai mana yang difirmankan oleh Allah:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُم.ٌ( التوبة: 36)
"Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram". (At-Taubah: 36).
Semua ahli tafsir sepakat bahwa empat bulan yang tersebut dalam ayat di atas adalah Zulqa’dah, Zul-Hijjah, Muharam dan Rajab.
Ketika haji wada’ Rasulallah bersabda:
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ [... السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ ...].
Dari Abi Bakrah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Setahun ada dua belas bulan, empat darinya adalah bulan suci. Tiga darinya berturut-turut; Zulqa’dah, Zul-Hijjah, Muharam dan Rajab”. (HR. Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ahmad).
Dalam hadist di atas Nabi SAW hanya menyebut nama empat bulan, dan ini bukan berarti selain dari nama bulan yang disebut di atas tidak suci, karena bulan Ramadhan tidak disebutkan dalam hadist diatas. Dan kita semua tahu bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan kesucian, ada Lailatul Qadar, juga dinamakan dengan bulan rahmat, maghfirah dan pembebasan dari api neraka.
Ibnu Rajab al-Hambali ( 736 – 795 H ) mengatakan, Muharam disebut dengan syahrullah (bulan Allah) karena memiliki dua hikmah. Pertama, untuk menunjukkan keutamaan dan kemuliaan bulan Muharam. Kedua, untuk menunjukkan otoritas Allah SWT dalam mensucikankan bulan Muharam.
Bulan Muharram mempunyai karakteristik tersendiri, dan diantara karakteristik bulan Muharram adalah:
Pertama: Semangat Hijrah
Setiap memasuki tahun baru Islam, kita hendaknya memiliki semangat baru untuk merancang dan melaksanakan hidup ini secara lebih baik. Kita seharus merenung kembali hikmah yang terkandung di balik peristiwa hijrah yang dijadikan momentum awal perhitungan Tahun Hijriyah. Tahun hijriyah mulai diberlakukan pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Sistem penanggalan Islam itu tidak mengambil nama 'Tahun Muhammad' atau 'Tahun Umar'. Artinya, tidak mengandung unsur pemujaan seseorang atau penonjolan personifikasi, tidak seperti sistem penanggalan Tahun Masehi yang diambil dari gelar Nabi Isa, Al-Masih (Arab) atau Messiah (Ibrani).
Tidak juga seperti sistem penanggalan Bangsa Jepang, Tahun Samura, yang mengandung unsur pemujaan terhadap Amaterasu O Mi Kami (dewa matahari) yang diproklamasikan berlakunya untuk mengabadikan kaisar pertama yang dianggap keturunan Dewa Matahari, yakni Jimmu Tenno (naik tahta tanggal 11 pebruari 660 M yang dijadikan awal perhitungan Tahun Samura) Atau penangalan Tahun Saka bagi suku Jawa yang berasal dari Raja Aji Saka.
Penetapan nama Tahun Hijriyah (al-Sanah al-Hijriyah) merupakan kebijaksanaan Khalifah Umar. Seandainya ia berambisi untuk mengabadikan namanya dengan menamakan penanggalan itu dengan Tahun Umar sangatlah mudah baginya melakukan itu. Umar tidak mementingkan keharuman namanya atau membanggakan dirinya sebagai pencetus ide sistem penanggalaan Islam itu.
Ia malah menjadikan penanggalan itu sebagai zaman baru pengembangan Islam, karena penanggalan itu mengandung makna spiritual dan nilai historis yang amat tinggi harganya bagi agama dan umat Islam. Selain Umar, orang yang berjasa dalam penanggalan Tahun Hijriyah adalah Ali bin Abi Thalib. Beliaulah yang mencetuskan pemikiran agar penanggalan Islam dimulai penghitungannya dari peristiwa hijrah, saat umat Islam meninggalkan Makkah menuju Yatsrib (Madinah).
Dalam sejarah hijrah nabi dari Makkah ke madinah terlihat jalinan ukhuwah kaum Ansor dan Muhajirin yang melahirkan integrasi umat Islam yang sangat kokoh. Kaum Muhajirin-Anshar membuktikan, ukhuwah Islamiyah bisa membawa umat Islam jaya dan disegani. Bisa dimengerti, jika umat Islam dewasa ini tidak disegani musuh-musuhnya, menjadi umat yang tertindas, serta menjadi bahan permainan umat lain, antara lain akibat jalinan ukhuwah Islamiyah yang tidak seerat kaum Mujahirin-Anshar.
Dari situlah mengapa konsep dan hikmah hijrah perlu dikaji ulang dan diamalkan oleh umat Islam. Setiap pergantian waktu, hari demi hari hingga tahun demi tahun, biasanya memunculkan harapan baru akan keadaan yang lebih baik. Islam mengajarkan, hari-hari yang kita lalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Dengan kata lain, setiap Muslim dituntut untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari.
Hadis Rasulullah yang sangat populer menyatakan, ''Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, adalah orang yang beruntung”.
Bila hari ini sama dengan kemarin, berarti orang merugi, dan jika hari ini lebih jelek dari kemarin, adalah orang celaka.'' Oleh karena itu, sesuai dengan firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (الحشر18)
''Hendaklah setiap diri memperhatikan (melakukan introspeksi) tentang apa-apa yang telah diperbuatnya untuk menghadapi hari esok (alam akhirat) dan bertakwalah, sesungguhnya Allah maha tahu dengan apa yang kamu perbuatkan''. (QS. Al-Hasyar: 18).
Karakteristik Kedua: Di sunnahkan berpuasa
Pada zaman Rasulullah, orang Yahudi juga mengerjakan puasa pada hari 'asyuura. Mereka mewarisi hal itu dari Nabi Musa AS.
Dari Ibnu Abbas RA, ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa. Rasulullah SAW bertanya, "Hari apa ini? Mengapa kalian berpuasa?" Mereka menjawab, "Ini hari yang agung, hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir'aun. Maka Musa berpuasa sebagai tanda syukur, maka kami pun berpuasa."Rasulullah SAW bersabda, "Kami orang Islam lebih berhak dan lebih utama untuk menghormati Nabi Musa daripada kalian." (HR. Abu Daud).
Puasa Muharram merupakan puasa yang paling utama setelah puasa ramadhan. Rasululllah SAW bersabda:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله : أفضل الصيام بعد شهر رمضان شهر الله الذي تدعونه المحرم، وأفضل الصلاة بعد الفريضة قيام الليل .
Dari Abu Hurairah RA, Rasululllah SAW bersabda: “Sebaik-baik puasa setelah puasa ramadhan adalah puasa dibulan muharram, dan sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu adalah shalat malam”. (HR. Muslim, Abu Daud, Tarmizi, dan Nasa’ ).
Puasa pada bulan Muharam yang sangat dianjurkan adalah pada hari yang kesepuluh, yaitu yang lebih dikenal dengan istilah 'asyuura.
Aisyah RA pernah ditanya tentang puasa 'asyuura, ia menjawab, "Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW puasa pada suatu hari yang beliau betul-betul mengharapkan fadilah pada hari itu atas hari-hari lainnya, kecuali puasa pada hari kesepuluh Muharam." (HR Muslim).
Dalam hadits lain Nabi juga menjelaskan bahwa puasa pada hari ‘asyura (10 Muharram) bisa menghapuskan dosa-dosa setahun yang telah lewat.
عن أبي قتادة رضي الله عنه قال : سُئل النبي صلى الله عليه وسلم عن صيام يوم عاشوراء ، فقال : إني أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله . رواه مسلم
Dari Abu Qatadah RA, Rasululllah SAW ditanya tentang puasa hari ‘asyura, beliau bersabda: ”Saya berharap ia bisa menghapuskan dosa-dosa satu tahun yang telah lewat” (HR. Muslim).
Disamping itu disunnahkan untuk berpuasa sehari sebelum ‘Asyura yaitu puasa Tasu’a pada tanggal 9 Muharram, sebagaimana sabda Nabi SAW yang termasuk dalam golongan sunnah hammiyah (sunnah yang berupa keinginan/cita2 Nabi tetapi beliau sendiri belum sempat melakukannya):
Ibnu Abbas RA menyebutkan, Rasulullah SAW melakukan puasa 'asyuura dan beliau memerintahkan para sahabat untuk berpuasa. Para sahabat berkata, "Ini adalah hari yang dimuliakan orang Yahudi dan Nasrani. Maka Rasulullah saw. bersabda, "Tahun depan insya Allah kita juga akan berpuasa pada tanggal sembilan Muharam." Namun, pada tahun berikutnya Rasulullah telah wafat. (HR Muslim, Abu Daud).
Berdasar pada hadis ini, disunahkan bagi umat Islam untuk juga berpuasa pada tanggal sembilan Muharam. Sebagian ulama mengatakan, sebaiknya puasa selama tiga hari: 9, 10, 11 Muharam.
Ibnu Abbas r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, "Puasalah pada hari 'asyuura dan berbedalah dengan orang Yahudi. Puasalah sehari sebelum 'asyuura dan sehari sesudahnya." (HR Ahmad).
Ibnu Sirrin berkata: melaksanakan hal ini dengan alasan kehati-hatian. Karena, boleh jadi manusia salah dalam menetapkan masuknya satu Muharam. Boleh jadi yang kita kira tanggal sembilan, namun sebenarnya sudah tanggal sepuluh. (Majmuu' Syarhul Muhadzdzab VI/406) .
Mudah-mudahan dengan masuknya awal tahun baru hijriyah ini, kita bisa merancang hidup kita kedepan agar lebih baik dan bermanfaat bagi umat manusia, yakni mengubah perilaku buruk menjadi baik, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Karakteristik Kedua: Di sunnahkan berpuasa
Pada zaman Rasulullah, orang Yahudi juga mengerjakan puasa pada hari 'asyuura. Mereka mewarisi hal itu dari Nabi Musa AS.
Dari Ibnu Abbas RA, ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa. Rasulullah SAW bertanya, "Hari apa ini? Mengapa kalian berpuasa?" Mereka menjawab, "Ini hari yang agung, hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir'aun. Maka Musa berpuasa sebagai tanda syukur, maka kami pun berpuasa."Rasulullah SAW bersabda, "Kami orang Islam lebih berhak dan lebih utama untuk menghormati Nabi Musa daripada kalian." (HR. Abu Daud).
Puasa Muharram merupakan puasa yang paling utama setelah puasa ramadhan. Rasululllah SAW bersabda:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله : أفضل الصيام بعد شهر رمضان شهر الله الذي تدعونه المحرم، وأفضل الصلاة بعد الفريضة قيام الليل .
Dari Abu Hurairah RA, Rasululllah SAW bersabda: “Sebaik-baik puasa setelah puasa ramadhan adalah puasa dibulan muharram, dan sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu adalah shalat malam”. (HR. Muslim, Abu Daud, Tarmizi, dan Nasa’ ).
Puasa pada bulan Muharam yang sangat dianjurkan adalah pada hari yang kesepuluh, yaitu yang lebih dikenal dengan istilah 'asyuura.
Aisyah RA pernah ditanya tentang puasa 'asyuura, ia menjawab, "Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW puasa pada suatu hari yang beliau betul-betul mengharapkan fadilah pada hari itu atas hari-hari lainnya, kecuali puasa pada hari kesepuluh Muharam." (HR Muslim).
Dalam hadits lain Nabi juga menjelaskan bahwa puasa pada hari ‘asyura (10 Muharram) bisa menghapuskan dosa-dosa setahun yang telah lewat.
عن أبي قتادة رضي الله عنه قال : سُئل النبي صلى الله عليه وسلم عن صيام يوم عاشوراء ، فقال : إني أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله . رواه مسلم
Dari Abu Qatadah RA, Rasululllah SAW ditanya tentang puasa hari ‘asyura, beliau bersabda: ”Saya berharap ia bisa menghapuskan dosa-dosa satu tahun yang telah lewat” (HR. Muslim).
Disamping itu disunnahkan untuk berpuasa sehari sebelum ‘Asyura yaitu puasa Tasu’a pada tanggal 9 Muharram, sebagaimana sabda Nabi SAW yang termasuk dalam golongan sunnah hammiyah (sunnah yang berupa keinginan/cita2 Nabi tetapi beliau sendiri belum sempat melakukannya):
Ibnu Abbas RA menyebutkan, Rasulullah SAW melakukan puasa 'asyuura dan beliau memerintahkan para sahabat untuk berpuasa. Para sahabat berkata, "Ini adalah hari yang dimuliakan orang Yahudi dan Nasrani. Maka Rasulullah saw. bersabda, "Tahun depan insya Allah kita juga akan berpuasa pada tanggal sembilan Muharam." Namun, pada tahun berikutnya Rasulullah telah wafat. (HR Muslim, Abu Daud).
Berdasar pada hadis ini, disunahkan bagi umat Islam untuk juga berpuasa pada tanggal sembilan Muharam. Sebagian ulama mengatakan, sebaiknya puasa selama tiga hari: 9, 10, 11 Muharam.
Ibnu Abbas r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, "Puasalah pada hari 'asyuura dan berbedalah dengan orang Yahudi. Puasalah sehari sebelum 'asyuura dan sehari sesudahnya." (HR Ahmad).
Ibnu Sirrin berkata: melaksanakan hal ini dengan alasan kehati-hatian. Karena, boleh jadi manusia salah dalam menetapkan masuknya satu Muharam. Boleh jadi yang kita kira tanggal sembilan, namun sebenarnya sudah tanggal sepuluh. (Majmuu' Syarhul Muhadzdzab VI/406) .
Mudah-mudahan dengan masuknya awal tahun baru hijriyah ini, kita bisa merancang hidup kita kedepan agar lebih baik dan bermanfaat bagi umat manusia, yakni mengubah perilaku buruk menjadi baik, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Sumber: http://www.pesantrenvirtual.com/
Langganan:
Postingan
(
Atom
)