MENURUT MEREKA,
Pajak sebagai pungutan yang berdasarkan undang-undang dalam pengertian
sempit memang hasil proses pemikiran manusia. Namun, kalau dilihat dalam
arti yang lebih luas secara hermeneutika atau takwil menurut nash
Al-Qur’an dalam Al-Baqarah: 31, dalam kontek…
Syahadat, mengucapkan kesaksian:
لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ
“Tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah.”
merupakan
rukun yang mendasar, sekaligus hal yang wajib bagi setiap muslim. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan hal itu setelah
diangkat menjadi rasul. Mendakwahkan kalimat tersebut dan meninggalkan
berbagai perbuatan syirik, berbagai bentuk penyembahan kepada berhala
atau selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ. قُمْ فَأَنْذِرْ. وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ. وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
“Wahai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Rabbmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah.” (Al-Muddatstsir: 1-4)
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerukan dakwah kepada tauhid dari awal
pengangkatannya sebagai rasul oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalimat
syahadatain tersebut merupakan dasar bagi tegaknya agama Islam. Demikian
pula para rasul Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lain, mereka semua
memulai dakwahnya dengan mengajak manusia kepada tauhid, mengesakan
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan kesyirikan.
Adapun
rukun kedua, dari rukun Islam, yaitu shalat. Difardhukan untuk
menegakkan shalat ketika memasuki masa sebelum hijrah. Lantas, setelah
hijrah ke Madinah, diwajibkan zakat dan puasa di bulan Ramadhan. Ini
terjadi pada tahun ke-2 dari hijrah. Kemudian difardhukan haji pada
tahun ke-9 setelah hijrah. Dengan demikian, sempurnalah rukun Islam.
Maka, tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhaji, pada
tahun ke-10 setelah hijrah, turunlah ayat:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)
Zakat merupakan ibadah maliyah (ibadah dalam wujud menyerahkan harta). Disebut zakat, karena secara bahasa berarti التَّطْهِيرُ وَالنَّمَاءُ
suci dan tumbuh yaitu mensucikan atau membersihkan orang yang berzakat
dari kotoran dosa, sikap kikir dan bakhil. Juga membersihkan harta dari
yang telah dikeluarkan tersebut. Disebutkan tumbuh, karena zakat
tersebut akan menumbuhkan harta dan menjadi sebab tumbuhnya berkah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Sedekah itu tidak akan mengurangi dari harta (yang dimiliki seseorang).” (HR. Muslim no. 2588, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Maka, Zakat atau Sedekah tidaklah akan menjadi penyebab berkurangnya harta seseorang.
Justru, dengan berzakat atau bersedekah, harta seseorang akan bertambah
dan semakin bertambah keberkahannya. Harta itu akan tumbuh berkembang.
Meskipun, secara lahiriah saat seseorang menyedekahkan atau membayar
zakat, harta yang ada padanya berkurang, namun hakikatnya harta itu
justru tumbuh, bertambah, membawa berkah, dan bersih suci.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.” (At-Taubah: 103)
Selain
itu, zakat bisa membantu para fakir dan miskin. Mereka adalah
orang-orang yang tidak memiliki kecukupan nafkah. Karenanya,
saudara-saudara mereka yang terbilang memiliki harta lebih, mengulurkan
bantuan dan menutupi kebutuhan para fakir dan miskin. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ. لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan
orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang
(miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak
mau meminta).” (Al-Ma’arij: 24-25)
Itulah
zakat yang disediakan bagi orang-orang tertentu yang mereka memiliki
hak untuk memperolehnya. Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (Adz-Dzariyat: 19)
Zakat
merupakan rukun yang amat ditekankan setelah syahadatain dan shalat.
Barangsiapa mengingkari kewajiban berzakat, maka dia telah kafir dan
diminta bertaubat. Maka bertaubat dan meyakini bahwa perkara tersebut
merupakan hal yang wajib adalah kemestian, jika tidak dihukumi sebagai
orang murtad dan dihukum bunuh. Adapun terhadap orang-orang yang
meyakini perihal kewajiban berzakat (hukum zakat itu wajib), akan tetapi
enggan membayar atau menunaikan kewajiban tersebut lantaran bakhil dan
kikir, maka zakatnya boleh diambil secara paksa oleh pihak pemerintah.
Pihak pemerintah mengambil secara paksa lantaran harta zakat tersebut
merupakan hak fakir miskin yang merupakan kewajiban yang mesti
ditunaikan oleh para wajib zakat.
Khalifah
Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu telah memerangi orang-orang
yang enggan untuk menunaikan zakat sepeninggal Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Saat pernyataan hendak memerangi orang-orang yang
membangkang tak mau tunaikan zakat dikemukakan, sempat memicu para
sahabat lainnya, seperti Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, untuk
mempertanyakan kebijakan khalifah tersebut. Umar bin Al-Khaththab
radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada khalifah, “Wahai khalifah
Rasulullah, bagaimana mungkin engkau akan memerangi orang yang
bersyahadat bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali
Allah dan sementara itu mereka pun orang-orang yang shalat?”
Kemudian Khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu pun menjawab, “Demi
Allah, seandainya mereka membangkangiku (dengan cara tidak mau
menunaikan zakat) meski hanya dengan seutas tali, padahal mereka dulu
pernah menunaikannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
niscaya aku akan tetap memerangi mereka. Aku akan tetap memerangi
orang-orang yang memisahkan antara shalat dan zakat. Sungguh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Aku diperintah untuk
memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak
diibadahi kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Maka, bila
mereka mengucapkan hal itu, terpeliharalah dariku darah dan harta mereka
kecuali dengan haknya.’ Sungguh zakat termasuk bagian haknya.” (HR. Al-Bukhari no. 1399 dan Muslim no. 20)
Maksudnya, zakat merupakan hak yang tak terpisahkan dengan syahadat لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، مُحَمَّدٌ رَسُولُ الله
Mendengar
penjelasan demikian, para sahabat pun merasa puas dan mereka pun
mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan kebenaran
atas lisan Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Kata Umar bin
Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Demi Allah, tiadalah yang ada pada
dia (Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu) kecuali bahwasanya Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah melapangkan dada Abu Bakr Ash-Shiddiq
radhiyallahu ‘anhu. Maka, aku telah mengetahui sungguh dia itu benar.” (HR. Al-Bukhari no. 1399)
Lantas
para sahabat pun bersepakat untuk memerangi mereka dan menghukumi para
pembangkang zakat sebagai orang-orang murtad hingga mereka mau membayar
zakat kepada khalifah yang terbimbing dan mau tunduk terhadap hukum
Islam.
Zakat
merupakan perkara yang teramat agung di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Zakat termasuk salah satu kebaikan-kebaikan yang ada pada Islam.
Melalui zakat, salah satunya, kebaikan (Islam) itu nampak begitu nyata.
Karena dalam ajaran zakat terkandung pesan moral untuk bersikap lemah
lembut terhadap para fakir, miskin, dan orang-orang yang memerlukan
bantuan. Melalui syariat zakat ini, terpintal hikmah kokohnya jalinan
distribusi harta dari para hartawan kepada para fakir yang membutuhkan.
Hingga orang-orang yang tidak mampu secara finansial bisa dibantu
melalui dana jaminan sosial (istilah sekarang) yang terkumpul melalui
penggalangan zakat. Inilah salah satu hikmah adanya zakat. Karena
sesungguhnya, harta yang dimiliki seseorang senyatanya merupakan
pemberian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukan atas dasar kemampuan,
kekuatan, atau kepandaian yang dimilikinya. Tapi, harta itu semata-mata
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lantaran itulah, Allah Subhanahu wa
Ta’ala memfardhukan kepada orang-orang yang berharta untuk menyerahkan
hak saudara-saudara mereka yang tergolong fakir. Yaitu, berupaya
menyedekahkan harta yang telah mereka dapatkan. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ
يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خُلَّةٌ وَلَا شَفَاعَةٌ
وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Wahai
orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari
rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada
hari itu tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi
syafaat. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.” (Al-Baqarah: 254)
Orang-orang
yang telah menyerahkan sebagian rezeki mereka adalah orang-orang yang
telah dijanjikan mendapat balasan yang baik. Bagi mereka disediakan
keutamaan dan karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Firman-Nya:
مَثَلُ
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ
أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللهُ
يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di
jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh
bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan
(ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 261)
Selain
itu, tak ada pada jiwa orang-orang kaya, yang membayarkan zakat dengan
ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, perilaku mengungkit-ungkit
pemberian kepada orang-orang fakir dan bersikap takabur (sombong) kepada
mereka. Karena harta yang diserahkan tersebut bukanlah darinya, tetapi
merupakan kewajiban yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala bebankan atas
dirinya untuk ditunaikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى
كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si
penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada
manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (Al-Baqarah: 264)1
Kini, di era arus peralihan ilmu teknologi demikian kencang,
sebagian kaum muslimin mulai gencar menaburkan agama bertitik tekan
pada logika. Walaupun sebenarnya cara pandang memahami Islam semacam ini
tidaklah terlalu baru kalau tidak dikatakan sebagai hal yang telah
usang– karena cara pandang memahami agama seperti itu telah dilakukan
pendahulunya dari kalangan Mu’tazilah. Khusus dalam menyoroti masalah
zakat, ada kalangan yang menyamakan zakat dengan pajak. Seseorang yang
telah menyerahkan pajak diyakini telah menunaikan zakat. Melalui kajian
hermeneutika terhadap ayat-ayat zakat dalam Al-Qur’an, lantas membuat
kesimpulan bahwa zakat sama dengan pajak. Hermeneutika itu sendiri
berasal dari bahasa Yunani hermeneuine dan hermenia yang berarti
menafsirkan dan penafsiran. Penamaan hermeneutika sendiri tidak lepas
dari nama dewa Hermes (Hermeios), yaitu dewa dalam mitologi Yunani kuno
yang merupakan anak Zeus dan Maia. Dewa Hermes dikaitkan dengan
hermeneutika lantaran dia utusan Zeus yang bertugas menyampaikan dan
menerjemahkan pesan Zeus yang masih samar ke dalam bahasa yang bisa
dipahami manusia. Dengan demikian, hermeneutika secara bahasa memiliki
pengertian menafsirkan atau memberi takwil, yang mengungkapkan arti
suatu kata atau teks. Hermeneutika dibakukan sebagai ilmu, metode, dan
teknik memahami pesan atau teks pada abad 18 M. Awalnya merupakan bentuk
studi terhadap tafsir Bibel (Biblical Hermeneutics) lantas meluas
menjadi metode untuk mengkaji semua kondisi apa saja yang memungkinkan
lahirnya penafsiran atau takwil yang betul –menurut dugaan mereka-
terhadap satu teks atau kata. (Lihat Agar Tidak Menjadi Muslim Liberal,
Qomar Su’aidi ZA, Lc, hal. 456-457 dan Zakat=Pajak, Kajian Hermeneutika
Terhadap Ayat-ayat Zakat dalam Al-Qur’an, Achyar Rusli, hal. 28)
Kini,
metode ini sedang gencar dibiuskan ke tengah kaum muslimin dalam
menerapkan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an atau memaknai satu
hadits. Sehingga dengan metode ini, diharapkan muncul satu pemahaman
“Islam” yang baru yang keluar dari sistem pemahaman para ulama
terdahulu. Melalui metode ini direkayasa sedemikian rupa untuk lahir sebuah tafsir baru dalam agama. Metode hermeneutika sangat getol dipompakan ke tubuh umat Islam oleh kalangan Jaringan Islam Liberal (JIL).
Menurut
mereka, pajak sebagai pungutan yang berdasarkan undang-undang dalam
pengertian sempit memang hasil proses pemikiran manusia. Namun, kalau
dilihat dalam arti yang lebih luas secara hermeneutika atau takwil
menurut nash Al-Qur’an dalam Al-Baqarah: 31, dalam konteks ‘allama Adama
al-asma’ dalam pengertian Adam adalah manusia yang diajari nama-nama
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pajak sebagai suatu kata adalah suatu
nama yang diajarkan-Nya juga. Sehingga pada batas kesimpulan hubungan
zakat dengan pajak, mereka katakan bahwa zakat itu adalah pajak, pajak
itu adalah zakat, lain sebutan tapi arti sama.
Pemahaman
mereka pun diiringi pula adanya kesamaan dalam sistem zakat dan pajak.
Misal, dalam zakat ada istilah muzakki (orang yang menyerahkan zakat)
dalam pajak ada istilah wajib pajak, ada jenis-jenis zakat demikian pula
ada jenis-jenis pajak, ada kadar zakat (nishab) begitu pula dalam pajak
ada batas minimum pengenaan pajak, dalam zakat ada haul juga dalam
pajak ada periode pengenaan pajak. (Zakat=Pajak, hal. 109, 160)
Inti
dari pemahaman mereka adalah berupaya menalarkan titik persamaan antara
zakat dengan pajak secara paksa, sehingga bila disimpulkan, zakat adalah pajak dan pajak adalah zakat, lain sebutan tapi sama arti.
Tentu, hal ini merupakan kesimpulan yang teramat sangat dipaksakan.
Sebuah hasil pemikiran manusia yang sangat rancu dan batil. Apalagi
kesimpulan tersebut dibangun dari sebuah metode hermeneutika yang
sebatas menjelaskan dari sisi pesan, teks, atau kata. Tanpa meneropong
sebuah ajaran yang dibangun atas dasar iman.
Perlu
diingat bahwa zakat adalah kewajiban yang ditetapkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Sementara pajak adalah peraturan yang dibebankan negara kepada
rakyatnya. Perincian zakat telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam teknis pelaksanaannya. Demikian juga dalam
syariat lainnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menjelaskannya. Karena Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Allah Subhanahu wa Ta’ala
memerintahkannya agar menjelaskan isi Al-Qur’an tersebut kepada segenap
manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan
Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.” (An-Nahl: 44)
Zakat
merupakan ibadah yang wajib ditunaikan oleh seorang muslim yang telah
terpenuhi persyaratannya. Maka zakat merupakan bentuk amal guna
mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun pajak
merupakan peraturan negara yang tidak ada kaitannya dengan ibadah dan
upaya mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seorang muslim yang tidak meyakini zakat sebagai kewajiban yang harus
ditunaikan, maka dia dihukumi kafir dan murtad dari Islam. Konsekuensi
yang seperti ini tentu tidak akan ada pada seseorang yang menunaikan
pajak dan tidak meyakininya sebagai sebuah kewajiban.
Ketentuan
zakat bersifat universal. Di negara manapun ketentuan tersebut tetap
berlaku selama dia menjadi seorang muslim. Berbeda dengan pajak,
masing-masing negara memiliki ketentuan dan undang-undang sendiri. Satu
negara dengan negara lain berbeda. Selain itu, zakat adalah kewajiban
yang bersifat tetap dan terus-menerus berlangsung. Kewajiban zakat itu
akan tetap berjalan selagi umat Islam ada di muka bumi. Kewajiban zakat
tidak akan dihapus oleh siapapun. Tidak berubah-ubah. Berbeda dengan
pajak yang bisa dihapus, misal melalui pemutihan, atau berubah menurut
kondisi satu negara.
Melihat
sisi-sisi perbedaan yang mendasar seperti di atas, tentu sangat tidak
ilmiah sekali bila zakat disamakan dengan pajak. Bagi seorang muslim,
hendaknya memancangkan segenap pemikiran, perbuatan, dan keyakinannya ke
tiang pancang yang kokoh, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, selaras
pemahaman salaf ash-shalih.
Demikian
pula halnya ketika memahami nash-nash Al-Qur’an, hendaknya mengikuti
kaidah-kaidah para ulama salaf. Mereka adalah orang-orang yang memiliki
otoritas untuk membimbing umat sesuai ajaran Islam yang benar yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma:
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berbicara tentang Al-Qur’an dengan ra’yu (pemikiran logika)nya, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka.” (I’lamul Muwaqqi’in, Ibnu Qayyim, hal. 54)
Wallahu a’lam.
1
Paparan di atas disarikan dari tulisan Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin
Abdullah Al-Fauzan dalam Tashilul IImam bi Fiqhil Hadits min Bulughil
Maram, 3/91-94, dengan beberapa penambahan dari penulis.
Sumber: www.asysyariah.com Penulis : Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin, Judul: Zakat Tidak Sama Dengan Pajak